Minggu, 05 Juli 2009

Festival Remaja Autis dan Handicapped Communication Persons ; Mei 2009



Hari Sabtu dan Minggu, tanggal 2 - 3 Mei 2009, diadakan Festival Remaja Autis dan Handicapped Comunication Persons di Fakultas Peternakan UGM Yogyakarta. Aku ikut serta dalam kepanitiaan, karena penyelenggaranya sekolah tempat aku bekerja. Alasan mengapa diadakan di Fakultas peternakan UGM karena ketua panitia sekaligus ketua yayasan dan salah satu orang tua siswa, Ir. Bugi Rustamadji, MSc, bekerja sebagai dosen disana. Beberapa mahasiswa magang dan teman-teman ikut juga terlibat sebagai panitia.

Beberapa sekolah dan lembaga bagi remaja berkebutuhan khusus ikut serta berpartisipasi mengisi gerai/stand memberikan informasi mengenai organisasi mereka. Selain itu juga terpajang beberapa hasil karya siswa yang merupakan remaja autis. Sekolah/lembaga tersebut yaitu Kasih Bunda Cibubur Jakarta, Kubca Samakta Bandung, SLB Arya Satya Hati Pasuruan, Cita Hati Sidoarjo, Finger Print Jakarta, Lembaga Home Schooling Medan, dan SLB Autis Fredofios sekolah tempat aku bekerja.

Beberapa stand produk juga turut berpartisipasi, yaitu Batik Juwita, Buku Edukasi Syaiful Haq, dan Permainan Edukasi. Sedangkan stand makanan dan minuman hanya ada satu, dari salah satu orangtua siswa SLb Autis Fredofios, karena beliau juga terlibat dalam kepanitiaan.

Pada hari Jumat siang, aku dan teman-teman prepare di lokasi. Tenda-tenda sudah terpasang, juga meja dan kursi untuk stand. Mita dan Nadine, mahasiswa Psikologi UGM yang kebetulan menjadi sukarelawan sibuk mendisplay ruang pameran lukisan dan puzzle karya siswa SLB AutisFredofios. Sedangkan Pak Catur, mendekor ruang auditorium di lantai atas. Aku, dibantu Sam, Apri dan Della menata meja dan kursi untuk stand SLB Autis Fredofios. Apri dan Sam juga sukarelawan yang sering terlibat dalam event sekolah.

Pagi harinya jam 07.00 WIB aku mulai menghias stand SLB Autis Fredofios dengan berbagai hasil karya siswa, hasil karya para guru (salah satunya kambing Pak Catur), dan profil organisasi serta foto-foto guru dan siswa. Para tamu undangan yang mengisi stand juga sudah berdatangan dan menghias stand masing-masing.

Melalui ajang ini kami dapat bertemu dengan para guru dan terapis dari sekolah/lembaga lain. Sehingga kami dapat saling bertukar informasi, sharing pengalaman dan menambah jaringan kerja. Itulah salah satu tujuan diadakannya kegiatan Festival.
Para pengunjung mulai berdatangan pada pukul 08.00 WIB, mereka adalah para guru, terapis, orangtua, mahasiswa dan masyarakat umum, yang berasal dari berbagai kota di Indonesia. Ada yang datang berombongan dari sekolah dan lembaga di Solo, ada pula yang datang sendiri sebagai utusan sekolah di Bandung dan dari Semarang. Banyak orangtua dari ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) juga hadir, ada yang berasal dari Purworejo, bahkan Pontianak. Mereka juga merupakan kenalan dari sekolah/lembaga yang merupakan jaringan kerja dari SLB Autis Fredofios.
Beberapa mahasiswa Fakultas peternakan juga dilibatkan sebagai MC di pusat informasi. Selain mereka, ada juga mahasiswa dari akademi keperawatan yang berkunjung. Namun, teman-teman dari SLB Autis dan SLB-SLB negeri di Yogyakarta hanya sedikit yang datang. Ibu Mus, guru dari SLB negeri Bintaran selalu hadir dalam setiap event sekolahku. Beliau merupakan pembimbingku ketika aku mengadakan penelitian tentang guru SLB saat aku kuliah S1. Sekarang beliau menjadi teman seprofesi dan kami saling sharing pengalaman belajar dan mengajar siswa autis.
Acara yang kami susun cukup mengundang banyak orang datang memenuhi kursi di auditorium. Acara tersebut yaitu Pendidikan Remaja Autis, Home Schooling, sharing orangtua dan pentas seni siswa. Pada saat pentas seni siswa, aku sedikit memberi penjelasan pada pengunjung Festival cara mengajarkan kesenian pada remaja autis. Banyak pengunjung yang kagum dengan para siswa yang dapat membaca puisi, menari dan fashion show. Salah satu cara yaitu dengan terapi gerak dan musik, seta kreasi seni. Dalam mengajar aku dibantu oleh Pak Catur dan Della, sehingga kami dapat menampilkan bakat para siswa dalam acara tersebut.

Mr. Fred Vrugteveen, konsultan pendidikan autis dari Belanda menjadi magnet tersendiri bagi acara ini sehingga acara ini berlangsung dengan sukses.
Festival ini menjadi tempat berkumpulnya orang-orang yang peduli pada pendidikan autis, dan remaja autis. Banyak hal yang diperoleh melalui Festival ini, sehingga kegiatan ini akan diselenggarakan lebih sering dan tidak hanya di Yogyakarta tapi di kota-kota lain juga. Mr. Fred yang merupakan sukarelawan ini mengatakan bahwa di Belanda sering diadakan Festival Autis dan beliau sudah sangat berpengalaman mengadakan kegiatan ini. Sehingga beliau juga terlibat dalam kepanitiaan dan menjadi line untuk menyebarluaskan informasi melalui jaringannya.

Pada hari kedua, Minggu 3 Mei 2009, ada dialog interaktif dengan guru-guru, dan juga siswa. Pagi itu aku menceritakan pengalamanku, suka dan duka selama menjadi guru bagi remaja autis.
Acara pada hari kedua, sharing sibling (saudara dari remaja autis), sharing sekolah/lembaga, sharing orangtua dan juga demonstrasi terapi gerak dan musik serta make up yang dilakukan oleh para siswa. Pada pelajaran bina diri, aku mengajar make up wajah pada salah satu siswaku, Mutia. Ia sangat senang pada kecantikan dan fashion, sehingga pada acara tersebut, aku berani menampilkan Mutia. Salah satu guru dari Sidoarjo dengan sukarela dirias wajahnya oleh Mutia. Selain itu, aku juga memperagakan Terapi Gerak dan Musik dibantu Della. Terapi ini aku pelajari sejak tahun 2006 lalu ketika Jenny sukarelawan dari Inggris membantu di sekolah tempat aku berkerja. Setelah Jenny habis masa kontraknya, akupun dipercaya oleh Kepala Sekolah untuk mengajar terapi pada para siswa.

Festival berakhir pada hari Minggu sore. Beberapa guru dan orangtua sepertinya enggan segera pulang, mereka masih ingin sharing dengan aku dan teman-teman. Beberapa teman juga menanyakan tentang t-shirt yang dipakai panitia. Tapi sayang, kami tidak membuat dalam jumlah banyak. Buku-buku, kurikulum, dan kumpulan materi dari seminar, workshop, lokakarya dan pelatihan yang pernah kami selenggarakan mulai dari tahun 2004 - 2007, laris terjual dan banyak juga yang memesannya.

Rabu, 01 Juli 2009

Pada Tepian Sungai







Aku melangkahkan kaki dalam balutan kebaya putih dan indahnya kain jarik. Sendiri menapaki tanah Jawa yang masih basah oleh embun pagi. Ketika kegalauan hati mendera jiwaku. Gemerisik bambu menyapaku saat aku sampai pada tepian sungai. Burung-burung masih berkicau dan terselamatkan dari kepunahan. Sejenak kuhirup sejuknya pagi. Teringat kisah-kisah petani dan anaknya, simbok-simbok membawa bakul, gadis-gadis mandi di sungai, dan kupu-kupu beterbangan diantara harumnya bunga pada tepian sungai. Tak kulihat pemandangan seperti itu. Namun yang kulihat seorang laki-laki tua membawa keranjang dan ember sedang berendam di sungai. Laki-laki itu dengan sekuat tenaga mengeruk pasir dan membawanya ke tepian. Lalu pasir itu ia saring, ia pisahkan pasir yang halus dari batu-batu. Kemudian batu itu ia panggul ke atas tebing, disanalah ia memecahkannya dan menunggu seseorang untuk membelinya. Begitu juga dengan pasir yang ia kumpulkan. Begitulah ia, demi menyekolahkan anak-anaknya. Dengan tubuh yang sudah renta ia masih tetap semangat.
Aku berjalan pelan, tangan kananku memegang ujung kain jarik, dan tangan kiriku membawa sampur. Sampur merah pemberian seorang ibu yang mempunyai anak berkebutuhan khusus. Beliau sangat baik padaku. Sampur merah itu selalu menemani saat aku berlatih menari tarian klasik di perguruan tari Siswa Among Beksa di dekat Kraton Yogyakarta.
Aku berhenti di tepi sungai. Senyum menebar di wajahku ketika melihat beningnya air. Batu-batu menyembul dilewati oleh air yang tenang dan dingin. Sejenak aku duduk menikmati hawa sejuk, gemericik air terjun di belakangku dan teringat masa kecilku. Saat itu aku gemar bermain di alam. Memanjat pohon, mencari ikan di sungai, mencari udang di balik batu, bermain di sawah yang hijau, bercanda di gubuk, berlarian di lumpur saat musim panen tiba, makan nasi serta gudangan dan teri sebagai wujud rasa syukur petani saat akan panen, bahkan sampai mandi di sungai bersama teman-teman dan saudara-saudaraku. Hingga aku beranjak dewasa, tepian sungai itu masih menjadi kenangan dan tempat untukku menyepi dari segala kepenatan hidup.
Aku masih di tepian sungai, membaca hati. Terdiam dan merenung. Lalu kuhirup dalam-dalam dan ku beranjak. Alunan gending Jawa terngiang di telingaku. Aku berjalan, kuangkat kain jarikku untuk menyusuri sungai, dingin membasahi kakiku. Batu-batu kecil menusuk telapak kakiku. Dan aku berdiri di atas batu besar yang entah dari mana datangnya. Sementara air terjun terus mengalir mengiringiku. Aku tatap langit, kemanakah awan itu pergi? Birunya tak lagi seperti dulu, ketika rumah masih bambu, sepeda masih beriringan, dan nasi dibungkus dengan daun pisang. Akankah anakku nanti masih dapat melakukan hal yang sama ketika aku kecil dulu? Akankah cucuku nanti masih dapat menikmati mandi di sungai? Apa yang akan terjadi 50 tahun lagi?
Entahlah...
Aku masih di atas batu besar, menikmati kesejukan pagi, dalam keheningan jiwaku.
Dan gerakan-gerakan tariankupun menembus udara, alunan gending dan tembang laki-laki tua terdengar dari radionya.