Rabu, 01 Juli 2009

Pada Tepian Sungai







Aku melangkahkan kaki dalam balutan kebaya putih dan indahnya kain jarik. Sendiri menapaki tanah Jawa yang masih basah oleh embun pagi. Ketika kegalauan hati mendera jiwaku. Gemerisik bambu menyapaku saat aku sampai pada tepian sungai. Burung-burung masih berkicau dan terselamatkan dari kepunahan. Sejenak kuhirup sejuknya pagi. Teringat kisah-kisah petani dan anaknya, simbok-simbok membawa bakul, gadis-gadis mandi di sungai, dan kupu-kupu beterbangan diantara harumnya bunga pada tepian sungai. Tak kulihat pemandangan seperti itu. Namun yang kulihat seorang laki-laki tua membawa keranjang dan ember sedang berendam di sungai. Laki-laki itu dengan sekuat tenaga mengeruk pasir dan membawanya ke tepian. Lalu pasir itu ia saring, ia pisahkan pasir yang halus dari batu-batu. Kemudian batu itu ia panggul ke atas tebing, disanalah ia memecahkannya dan menunggu seseorang untuk membelinya. Begitu juga dengan pasir yang ia kumpulkan. Begitulah ia, demi menyekolahkan anak-anaknya. Dengan tubuh yang sudah renta ia masih tetap semangat.
Aku berjalan pelan, tangan kananku memegang ujung kain jarik, dan tangan kiriku membawa sampur. Sampur merah pemberian seorang ibu yang mempunyai anak berkebutuhan khusus. Beliau sangat baik padaku. Sampur merah itu selalu menemani saat aku berlatih menari tarian klasik di perguruan tari Siswa Among Beksa di dekat Kraton Yogyakarta.
Aku berhenti di tepi sungai. Senyum menebar di wajahku ketika melihat beningnya air. Batu-batu menyembul dilewati oleh air yang tenang dan dingin. Sejenak aku duduk menikmati hawa sejuk, gemericik air terjun di belakangku dan teringat masa kecilku. Saat itu aku gemar bermain di alam. Memanjat pohon, mencari ikan di sungai, mencari udang di balik batu, bermain di sawah yang hijau, bercanda di gubuk, berlarian di lumpur saat musim panen tiba, makan nasi serta gudangan dan teri sebagai wujud rasa syukur petani saat akan panen, bahkan sampai mandi di sungai bersama teman-teman dan saudara-saudaraku. Hingga aku beranjak dewasa, tepian sungai itu masih menjadi kenangan dan tempat untukku menyepi dari segala kepenatan hidup.
Aku masih di tepian sungai, membaca hati. Terdiam dan merenung. Lalu kuhirup dalam-dalam dan ku beranjak. Alunan gending Jawa terngiang di telingaku. Aku berjalan, kuangkat kain jarikku untuk menyusuri sungai, dingin membasahi kakiku. Batu-batu kecil menusuk telapak kakiku. Dan aku berdiri di atas batu besar yang entah dari mana datangnya. Sementara air terjun terus mengalir mengiringiku. Aku tatap langit, kemanakah awan itu pergi? Birunya tak lagi seperti dulu, ketika rumah masih bambu, sepeda masih beriringan, dan nasi dibungkus dengan daun pisang. Akankah anakku nanti masih dapat melakukan hal yang sama ketika aku kecil dulu? Akankah cucuku nanti masih dapat menikmati mandi di sungai? Apa yang akan terjadi 50 tahun lagi?
Entahlah...
Aku masih di atas batu besar, menikmati kesejukan pagi, dalam keheningan jiwaku.
Dan gerakan-gerakan tariankupun menembus udara, alunan gending dan tembang laki-laki tua terdengar dari radionya.

Tidak ada komentar: