Kamis, 05 Maret 2009

Perempuan-perempuan Hebat


HARI PEREMPUAN
8 MARET 2009


Hari ini aku bertemu dengan tiga orang perempuan. Mereka datang dengan mengendarai mobil.Dua orang dari mereka berasal dai Semarang dan seorang lagi tinggal di Yogyakarta. Mereka ingin sharing mengenai sekolah tempatku bekerja. Dan salah satu dari ibu itu membawa cerita tentang anaknya yang dicurigai menyandang autis. Usia anaknya baru tiga setengah tahun. Namun, empat orang psikolog dan psikiater memberikan diagnosa yang berbeda-beda pada anaknya.
Seorang ibu, berada dalam ruangan yang berwarna abu-abu, semua terasa tidak jelas. Dia juga tidak tahu harus bertanya kemana, pada siapa, dan banyak komentar dan nasehat supaya dia tenang. “Ah, anakmu tidak apa-apa. Anakmu hanya terlambat bicara, tiap anak beda-beda. Nggak apa-apa. Nggak usah khawatir.”
Dia menyadari, anaknya berbeda dengan anak-anak yang lain ketika sang bayi berusia 8 bulan. Pertumbuhannya tidak ada masalah, tetapi anaknya terlambat berbicara dan beberapa tahap perkembangan tidak dilaluinya. Ia mencoba menentramkan hatinya sendiri, menepis pikiran-pikirannya tentang kecurigaan dia bahwa buah hatinya mengalami gangguan perkembangan. Play grup sebagai tempat bermain dan bersosialisasi bagi anak-anak telah dilalui sang buah hati. Hingga gurunya mengatakan bahwa dirinya tidak sanggup mendidik anak itu.
Seorang ibu, penuh harapan pada anaknya, pada buah hatinya yang dikandungnya selama 9 bulan. Tentu saja ia sangat bahagia ketika anak itu lahir ke dunia, lucu, putih, imut-imut, bersih tanpa dosa. Dan kini anak itu di diagnosa sebagai penyandang autis.
“Bagaimana anakmu?”
Pertanyaan itu terus mengusik hati ibu itu. Berbagai usaha ia lakukan untuk anaknya, mencari seorang ahli, mencari informasi, buku-buku, klinik, pusat terapi, sekolah, demi kemajuan buah hatinya. Seorang ibu tidak akan merasa lelah demi buah hatinya yang saat ini telah menjalani terapi dan pernah berpindah-pindah tempat terapi. Karena kegelisahan seorang ibu yang melihat anaknya belum mengalami kemajuan perkembangan yang berarti.
Hingga ia bertemu denganku. Dan bercerita tentang semua kegelisahannya.
"Saat ini anak saya menjalani terapi di Klaten. Dia sudah bisa memakai celana sendiri, kalau ada tamu ia mau berjabat tangan dan menyapa. Kalau dulu cuek jika dipanggil, tapi sekarang dia sudah bisa menjawab kalau dipanggil."
Ada harapan terpancar dari wajahnya ketika ia menceritakan perkembangan anaknya. Apalagi ketika ia melihat para siswa di sekolahku yang merupakan remaja penyandang autis. Dan ketika melihat begitu banyak karya dari remaja autis, ia semakin yakin bahwa buah hatinya mempunyai harapan untuk maju dan berkembang.
Aku yakin, ia akan terus berjuang demi anaknya. Ia punya kekuatan dan kekuatan itu adalah cinta. Bagaimanapun kondisi anaknya, ia menerima dengan besar hati, hingga ia berhasil mengantar anaknya menuju kehidupan yang diimpikannya bersama keluarganya.
Masih teramat panjang jalan yang harus ia tempuh bersama keluarga dan buah hatinya. Ia masih harus melalui masa-masa sulit ketika si buah hati beranjak menjadi seorang anak, menjadi remaja dan menjadi orang dewasa.

Ibu dari penyandang autis, ibu dari penyandang down sindrom, ibu dari penyandang ADHD, ibu dari penyandang tunarungu, ibu dari penyandang tunagrahita, ibu dari penyandang tunadaksa, ibu dari penyandang tunaganda, ibu dari penyandang tunanetra, semua ibu dari orang-orang diffable adalah perempuan-perempuan hebat. Sama dengan ibu-ibu dari anak-anak berbakat dan anak-anak yang ada di seluruh dunia ini. Mereka mempunyai kesabaran, ketabahan, kebijaksanaan, keteduhan, kasih sayang, cinta, penerimaan, kejujuran, perlindungan, kelembutan dan keajaiban.

1 komentar:

Weka Swasti mengatakan...

dewi yang baik,

tulisan saya tidak bermaksud untuk membuat orang lain tersinggung. tulisan saya "petang pucat" jelas sekali tidak menunjuk siapa pun, bahkan itu bukan cerita milik weka dan sandha.

saya punya banyak kenalan pemain biola, dan bekerja di kafe juga, dan punya gitaris juga. jadi itu bisa cerita milik siapa saja ya. kalau ada yang merasa dan tersinggung, saya minta maaf.

saya rasa ini sebuah tulisan ya, sebuah dialog, yaa....ini sebuah ekspresi ya.

sebuah reportase jurnalisme yang bahkan sudah memenuhi kaidah, hasil penelitian, bahkan karya yang jelas-jelas dalam bentuk fiksi, musik, puisi, lukisan, barangkali dirasa menyinggung pihak-pihak tertentu. itu relatif ya.

setiap manusia memiliki pengalaman, latar belakang kehidupan dan budaya yang akhirnya menghasilkan beragam persepsi manusia dan mengidentifikasikan dirinya dengan karya-karya tertentu. dan susah sekali memberikan batasan mana yang menyinggung dan mana yang tidak.

tentang kata "nggasruk", bukankah ini sudah biasa digunakan sebagai gojekan ala jogja? jadi saya rasa tidak harus diterjemahkan secara harfiah ya. lagipula, sekali lagi, saya tidak menuding siapa pun. saya juga tidak mengatakan seseorang tidak berbuat baik, bukan? saya heran anda memberikan persepsi sedemikian jauh.

semoga kesalah pahaman ini tidak berlarut-larut. saya ucapkan terima kasih atas koreksi dan penilaiannya.